PameoNews.com - Tradisi pernikahan adat Minangkabau yang sarat dengan nilai-nilai luhur masih terjaga di Nagari Aia Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Namun, di balik kemeriahan prosesi adat seperti maminang (melamar), batuka tando (bertukar tanda), hingga pesta adat, masyarakat menghadapi sejumlah kendala dalam mengintegrasikan budaya dengan prosedur administrasi resmi.

Proses Administrasi yang Kompleks

Pelaksanaan pernikahan adat yang penuh tahapan sering kali berhadapan dengan kompleksitas proses pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA). Kurangnya kelengkapan dokumen seperti KTP, akta kelahiran, atau surat keterangan wali menjadi salah satu penyebab pasangan tidak mencatatkan pernikahan secara resmi. Hal ini berisiko menimbulkan masalah di kemudian hari, seperti pengurusan akta kelahiran anak atau hak waris.

Ketidaksesuaian Jadwal Adat dan Administrasi

Pernikahan adat Minangkabau memerlukan waktu persiapan yang panjang karena melibatkan tokoh adat seperti ninik mamak (tetua adat) dan keluarga besar. Namun, jadwal panjang ini sering kali tidak selaras dengan waktu pelayanan administrasi di KUA. Akibatnya, banyak pasangan harus menunda pencatatan pernikahan resmi demi memenuhi tuntutan adat.

Tantangan Biaya dalam Prosesi Pernikahan

Biaya pernikahan adat yang meliputi mas kawin, pakaian adat, dan konsumsi untuk tamu sering kali menjadi fokus utama keluarga. Di sisi lain, meskipun biaya administrasi relatif kecil, kebutuhan tersebut kerap terabaikan. Bahkan, beberapa pasangan mengaku terbebani dengan pungutan tambahan dalam pengurusan dokumen resmi.

Minimnya Sosialisasi Pentingnya Administrasi

Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pencatatan pernikahan resmi turut menjadi kendala utama. Sebagian pasangan merasa cukup dengan pengakuan adat tanpa mendaftarkan pernikahan di KUA. Padahal, pernikahan yang tidak tercatat dapat menimbulkan persoalan hukum terkait hak anak, pembagian harta, hingga pengakuan status di mata negara.

Solusi untuk Mengatasi Tantangan

Untuk menjembatani adat dan administrasi, berbagai langkah dapat diambil:

  1. Sosialisasi dan Edukasi: Pemerintah daerah bersama tokoh adat dan KUA perlu aktif memberikan informasi tentang pentingnya pencatatan pernikahan melalui acara adat atau pertemuan masyarakat.
  2. Simplifikasi Administrasi: Prosedur pencatatan pernikahan perlu dibuat lebih sederhana. Layanan jemput bola seperti KUA keliling dapat menjangkau masyarakat pelosok.
  3. Harmonisasi Jadwal Adat dan Administrasi: Keterlibatan tokoh adat dalam perencanaan waktu pernikahan dapat membantu menyinkronkan jadwal prosesi adat dengan pencatatan resmi.
  4. Subsidi Biaya Administrasi: Pemerintah dapat memberikan subsidi atau penghapusan biaya pencatatan bagi keluarga kurang mampu, sehingga aspek ekonomi tidak menjadi penghalang.

Dengan langkah-langkah ini, Nagari Aia Angek diharapkan mampu menjaga kekayaan tradisi pernikahan adat Minangkabau sekaligus memastikan kepatuhan terhadap aturan administrasi negara. Kolaborasi antara tokoh adat, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan harmoni antara budaya dan modernitas.

Ditulis oleh Arpes Syafrinandes